Tuesday, January 22, 2013

Kembali ke Surga


“Kukuruyuuuuukkk..!”
“Alhamdullillaahilladzi ahyaanaa wa tsaqaanaa waj’alanaa minal khaasiriin.”
“Icha. Bangun, gih!”
“Iya ibu sayang, Icha udah bangun, kok!”
Keisha Adiwijaya yang akrab dipanggil Icha ini adalah seorang anak kelas  4 SD yang super ceria dan semangat, apalagi hobi banget sama berpetualang.  Dia dijuluki Si Gadis Petualang. Hobi berpetualangnya ini yang membuat dia agak tomboi. Dengan penampilan seperti anak cowok, bercelana pendek selutut dan kaos lengan pendek, ditambah dengan potongan rambutnya yang pendek, teman-temannya pun kebanyakan anak laki-laki.
Pagi ini sangat cerah, secerah wajahnya yang tak sabar untuk segera barangkat sekolah. Dia berharap agar hari ini ada petualangan seru yang menunggunya.
“Bu, berangkat dulu. Assalamualaikum!”
“Waalaikumussalam. Hati-hati, Cha!
Dia bergegas mengambil sepedanya yang sudah semalaman nongkrong di garasi. Icha mengayuh perlahan sepedanya. Sesampainya di jalan depan gang, tak segan-segan dia mengayuh secepat kilat. Wuuusshh..! betapa kagetnya orang yang lewat di sekitar jalan itu.
Sepuluh  menit kemudian, Icha sampai di depan gerbang sekolahnya, SD Mulia Jaya. Gerbang tinggi menyambut hati Icha yang gembira. Dia sudah tak sabar untuk masuk ke kelasnya. Diparkirnya sepeda biru yang dibawanya main kemana-mana itu di tempat yang paling tepi agar mudah dikeluarkan saat pulang nanti.
Setelah memarkir sepeda, Icha langsung lari ke kelasnya, 4A. Sampai di kelas, ditaruhnya tas ransel kesayangannya itu di meja paling depan. Hari ini ada pelajaran IPA, pelajaran favorit Icha. Guru pengajarnya juga seru, selalu bisa membuat anak-anak itu semangat belajar.
Pelajaran berlangsung hingga jam dinding menunjukkan pukul satu siang, bel pun berdering. Bagi Icha, sura bel ini adalah melodi musik terindah yang mengawali petualangannya. Bergegas dia menuju tempat parkir untuk mengambil sepedanya dan langsung pergi ke lapangan yang berjarak 100 m dari rumahnya. Selain hobi berpetualang, dia juga jago bermain kasti.
Rupanya teman-teman Icha sudah menunggu. Dia segera pemanasan kemudian ambil tempat. Permainan berlangsung seru. Rupanya senja sudah tiba. Saatnya pulang, mandi, dan belajar. Tak lupa mengucap salam pada teman-temannya itu.
“Assalamualaikum. Ibu, aku datang!”
Icha memasuki rumahnya yang sederhana namun rumah itu adalah tempat paling nyaman di dunia bagi Icha. Beberapa saat setela dia msuk, betapa kagetnya Icha melihat rumahnya itu penuh dengan kardus bertumpuk. Seaka-akan dia dan keluarganya akan pindah rumah. Dengan wajah polos, Icha bertanya pada ibunya.
“Bu, kita mau kemana?”
“Icha, kita harus pindah rumah mengikuti ayahmu bekerja. Setelah ini, mandilah, ganti baju, dan segera kita berangakat”, kata ibunya.
Icha merasa sedikit bingung dengan hal yang dihadapinya ini. Dia bertanya-tanya mengapa harus pindah, bagaimana rumah ini, dan bagaimana sekolah dan teman-temanku. Hatinya berkata bahwa tempat inilah suganya. Sebenarnya Icha tak mau tinggal selain disini. Dia berpikir bagaimana dan dengan siapa nantinya akan bermain.
Mau tak mau Icha menurut dengan rencana itu. Dia masih terlalu kecil untuk menolak dan protes. Mengertipun tak sepenuhnya. Selesai melaksanakan perintah ibunya, Icha masuk ke dalam mobil. Beranglatlah Icha tanpa mengucapkan salam perpisahan kepada teman-temannya. Bahkan, dia pun takk diberitahu bahwa ini menjadi hari terakhir dia berada di sini. Sebuah truk berada dibelakang mobil yang dinaikinya. Truk yang mengangkut barang-barang serumah.
Saking lelahnya, Icha tertidur di dalam mobil, bersandar pada pundak ibunya. Ayahnya sibuk memperhatikan jalan dengan wajah yang cukup lelah. Tibalah di rumah, lingkungan, dan tempat yang baru. Icha masih tertidur pulas. Ayahnya menggendong dia dan dibawanya ke dalam rumah. Setelah semua barang diturunkan, ayah dan ibunya pun ikut istirahat. Mereka tentu lebih lelah daripada Icha. Mereka tidur bertiga pada kamar yang sama. Maklum, memang baru pindahan.
Pagi pun tiba. Icha membuka matanya dan masih bingung melihat tempat yang ada disekitarnya. Pegal masih terasa, namun dengan senyum, ibunya datang ke kamar untuk mambangunkannya.
“Eh, Icha anak Ibu sudah bangun ternyata. Yuh mandi, gih!”
“Ibu, tadi Icha kok nggak dengar suara ayam, ya? Icha jadi agak kesiangan deh bangunnya.”
Ibu Icha menjelaskan pada anak manisnya itu dengan bahasa yang mudah dimengerti anak usia 9 tahun. Perlahan Icha mengerti mengapa dia harus meninggalkan rumah kesayangannya itu. Beberapa detik, senyuman Icha merekah kembali. Dia hanya berpikir bahwa diluar sana petualangan dan teman bermain baru menunggunya.
Hari pertama Icha menikmati tempat tinggal barunya dengan berjalan-jalan disekitar lingkungan itu. Ibunya menggandengan tangan kiri Icha. Ibu Icha bertanya bagaimana tempat tinggal barunya itu.
“Ibu, lapangannya dimana, ya?”
“Lapangan disekitar rumah kita agak jauh. Nanti kamu sekolah juga diantar sama Ayah. Soalnya kalau naik sepeda, bisa-bisa kamu terlambat.”
“Ooh..begitu ya.”
Dalam hati Icha sangat sedih. Apalagi anak-anak yang dijumpainya terkesan kurang ramah. Mereka hanya cuek melihat tetangga barunya tanpa sapatah katapun. Setelah berkeliling, Icha dan ibunya pulang. Icha menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang tentunya besik digunakan untuk bersekolah. Tentunya, ibunya ikut turun tangan. Tak mungkin Icha bisa membenahi sendirian.
Keesokan harinya, Ayah Icha mengantar ke sekolah baru Icha, SDN 21 Jakarta. Tanpa ragu-ragu, Icha melangkah masuk dan menuju ke kelas yang telah ditunjukkan oleh guru barunya. Dia duduk di bangku depan yang masih kosong. Disapanya, teman yang ada disamping tempat duduknya. Icha mengucap “Hai” tetapi anak disebelahnya itu hanya cuek dan menatapnya dengan sinis. Icha bingung bukan kepalang. Bagaimana bisa anak yang belum kenal dengannya itu bersikap acuh tak acuh. Padahal Guru PKn-nya dulu mengajarkan untuk ramah pada semua orang dan tak boleh mengacuhkan teman.
Icha tak terlalu menghiraukan masalah kecil itu, nanti juga pasti bisa akrab sendiri, pikirnya. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan Icha sekolah ditempat itu, tetep saja dia dicuekin oleh teman sekelasnya. Icha tak mengerti. Memang apa salah Icha hingga mereka begitu padanya. Apa kalau bukan asli anak kota dijauhi dan tidak boleh diajak berteman? Malang sekali anak seceria Icha  berubah menjadi pemurung.
Saatnya dia pulang karena pelajaran telah usai. Icha berlari ke ibunya yang suda menunggu. Sesampainya di rumah, dia menangis kencang –kencang.
“Ibuuuuuu!!”
“Loh, kok anak ibu nangis? Kenapa?”
Sambil menangis ala anak SD, Icha menjelaskan pada ibunya apa yang terjadi di sekolahnya. Sangat tak tega ibunya melihat anak semata wayangnya  menangis gara-gara tak punya teman. Padahal dulu Icha punya banyak sekali teman. Ada teman main juga teman sekolah. Ibu Icha menenangkan Icha yang masih tersedu-sedu. Tak habis pikir kalau pergaulan di kota besar seperti ini. Ibu Icha tak sabar menunggu suaminya pulang. Ingin sekali ibu Icha bercerita tentang anaknya itu.
Malam hari, ibu Icha menjelaskan semua yang terjadi. Keinginan ibu Icha hanyalah anaknya bisa ceria lagi seperti sedia kala. Mereka berembuk hingga menemukan pilihan yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut.
“Dua minggu lagi liburan semester, mungkin pada waktu itulah kita bisa pindah ke rumah yang dulu. Ayah tak tega melihat Icha yang murung dan sedih”
--Libur Semester tiba—
“Ayah, Ibu, kita jadi pulang ke rumah yang dulu, kan?”
“Iya.. Ayo berangkat!”
“Yeeeeee..!!”
Dalam mobil, Icha sangat tak sabar ingin cepat sampai di surganya yang dulu. Dia sangat riang dan ceria. Ketika tiba, tepat sekali dengan senja yang hampir datang. Itu berarti, saat ini di lapangan sedang bermain kasti. Setelah mobil sampai di depan rumah, langsung Icha berlari secepat kilat menuju lapangan yang tak jauh dari rumahnya.
“Teman-temaaaaaann!!”
Semuanya menganga dan bersorak melihat kawannya yang tiba-tiba pindah rumah. Kangen sekali rasanya, walaupun hanya dua bula mereka terpisah. Seteh temu kangen, Icha pulang diantar rombonagn temannya. Beramai-ramai mereka menuju rumah Icha sambil bernyayi.
Sesampainya di depan pagar, “Bye Icha. Sampai ketemu besok.”
Senangnya hati Icha merasakan kedamaian yang sejenak hilang darinya. Dia sangat bersyukur bisa kembali ke surganya ini. Icha tak sabar menunggu pagi esok untuk pergi ke sekolah, belajar dengan teman-teman yang menyayangi dan peduli padanya. Tak memandang status atau apapun, yang jelas hari-hari indah Icha kembali seperti sedia kala.

***

No comments:

Post a Comment