Tak dapat dipungkiri,
bahwa pers sangat berpengaruh terhadap bangsa ini, mulai dari kemerdekaan,
pengakuan kedaulatan, sampai kini masa reformasi, semuanya dipengaruhi oleh
pers. Maka tak heran jika dunia pers memegang peranan penting dalam perjalanan
bangsa ini. Perkembangan Pers di indonesia pun bisa dibilang sebagai salah satu
perkembangan pers paling kompleks karena perkembangan Pers di Indonesia terbagi
menjadi beberapa periode, dimana setiap periodenya mewakili satu masa atau era.
1.
Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki
batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan kolonial Belanda menerbitkan
surat kabar berbahsa Belanda kemudian masyarakat Indo Raya dan Cina juga menerbitkan
suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan bahasa daerah. Dalam era ini dapat
diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en
politique Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta)
merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar
ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang
dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 suratkabar berbahasa Indonesia dan satu
surat kabar berbahasa Jawa.
2.
Pers di masa pergerakan (1908 - 1942)
Setelah muncul
pergerakan modern Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908, surat kabar yang dikeluarkan
orang Indonesia lebih berfungsi sebagai alat perjuangan. Pers saat itu
merupakan “terompet” dari organisasi pergerakan orang Indonesia. Pers menjadi
pendorong bangsa Indonesia dalam perjuangan memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.
Contoh harian yang terbit pada masa pergerakan, antara lain:
·
Harian Sedio Tomo sebagai kelanjutan
harian Budi Utomo terbit di Yogyakarta
didirikan
bulan Juni 1920.
·
Harian Darmo Kondo terbit di Solo
dipimpin Sudarya Cokrosisworo.
·
Harian Utusan Hindia terbit di Surabaya
dipimpin HOS Cokroaminoto.
·
Harian Fadjar Asia terbit di Jakarta
dipimpin Haji Agus Salim.
·
Majalah mingguan Pikiran Rakyat terbit
di Bandung dipimpin Ir. Soekarno.
·
Majalah berkala Daulah Rakyat dipimpin
Mocb. Hatta dan Sutan Syahrir.
·
Hingga menjelang berakhirnya masa
kekuasaan kolonial, terdapat 33 suratkabar dan majalah berbahasa Indonesia
dengan tiras keseluruhan sekitar 47.000eksemplar.
Dalam era ini juga tercatat bahwa 27
surat kabar kaum nasionalis dibreidel pemerintah pada tahun 1936 karena adanya
ordonansi pers untuk membatasi kebangkitan gerakan nasionalis.
3.
Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Era ini berlangsung
dari 1942 hingga 1945, yakni selama penjajahan Jepang. Selama periode ini
situasi politik Indonesia mengalami perubahan yang radikal. Dalam era ini juga
pers Indonesia belajar tentang kemapuan media massa sebagi alat mobilisasi
massa untuk tujuan tertentu. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan
dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers. Dalam
masa ini surat kabar berbahasa Belanda diberangus dan beberapa surat kabar baru
diterbitkan meskipun dikontrol ketata oleh Jepang. Selain itu Jepang juga
mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan
dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Selama masa ini, terbit beberapa media
(harian), yaitu:
·
Asia Raya di Jakarta
·
Sinar Baru di Semarang
·
Suara Asia di Surabaya
·
Tjahaya di Bandung
Pers nasional masa pendudukan Jepang
mengalami penderitaan dan pengekangan lebih dari zaman Belanda, Namun begitu,
hal ini justru memberikan banyak keuntungan bagi pers Indonesia, diantaranay
adalah Pengalaman karyawan pers Indonesia bertambah, Adanya pengajaran bagi
rakyat agar berpikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber resmi
Jepang, serta meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.
4.
Pers di masa revolusi fisik (1945 - 1949)
Periode ini antara
tahun 1945 sampai 1949 saat itu bangsa Indonesia berjuang mempertahankan
kemerdekaan yang baru diraih tanggal 17 Agustus 1945. Belanda ingin kembali
menduduki sehingga terjadi perang mempertahankan kemerdekaan. Saat itu pers
terbagi menjadi dua golongan yaitu:
·
Pers yang diterbitkan dan diusahakan
oleh tentara Sekutu dan Belanda yang
dinamakan
Pers Nica (Belanda).
·
Pers yang terbit dan diusahakan oleh
orang Indonesia atau disebut Pers
Republik.
Kedua golongan pers ini sangat
berlawanan. Pers Republik yang disuarakan kaum Republik berisi semangat
mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan sekutu. Pers Nica
berusaha mempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda.
5.
Era pers partisan
Era ini berlangsung
dari 1945-1957. Setelah terkena euphoria kemerdekaan terjadilah persaingan
keras antara kekuatan politik sehingga pers Indonesia mengalami perubahan sifat
dari pers perjuangan menjadi pers partisan. Pers pada era ini sekedar menjadi
corong partai politik. Ada tiga jenis suratkabar dalam era ini yakni, surat
kabar republikein yang mengobarkan aksi kemerdekaan dan semangat anti Jepang,
surat kabar belanda, dan surat kabar Cina.
5.
Pers dimasa Orde Lama atau Pers Terpimpin (1957 - 1965)
Lebih kurang 10 hari
setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan
pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat
kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa
perang Jakarta. Hal ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi
dalam menyambut HUT Proklamasi Kemerdckaan RI ke-14, antara lain: “Hak
kebebasan individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam
melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berpikir, menyatakan pendapat, dan
memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin UUD 1945 harus ada batasnya: keamanan
negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta tanggung
jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Awal tahun 1960
penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa
“langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah,
dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam
usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai
mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers. Tahun 1964 kondisi kebebasan pers
makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook
bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers.
Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena
sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
6.
Pers di era demokrasi Pancasila dan Orde lama
Awal masa kepemimpinan pemerintahan
Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan
mengganti demokrasi Pancasila. Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa
Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Pemerintah
Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam
rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers
Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan
nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat,
yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai
penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan
kontrol sosial yang konstruktif. Masa “bulan madu” antara pers dan pemerintah
ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II
tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan
bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat
kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya
berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa
Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back
(kembali seperti zaman Orde Lama).
7.
Pers di masa Transisi (sebelum Reformasi)
Era ini terjadi pada
akhir tahun 1980 an dimana situasi politik mulai berubah. Faktor yang melatarblekangi perubahan ini antara lain adalah
kaenyataan bahwa Soeharto akan
mencapai usia 70 tahun dalam 1991 sehingga muncul perkiraan bahwa perubahan di rezim orde baru hanya soal waktu. Namun tak ada
yang berubah dalam kebijakan pers
karean lembaga SIUPP yang mengontrol pers
dengan ketat tidak dihapus. Pers
dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan system
perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin
dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan
dewan pers dan PWI, selain itu pemerintah
juga ikut campur tangan dalam keredaksian. Dalam pemerintahan Orde Baru ini setidaknya ada tiga macam cara
yang digunakan wartawan untuk
menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme
amplop.
·
Teknik eufeumisme adalah teknik
mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Penggunaan kata-kata ini
adalah upaya meringankan akibat politik dari suatu pemberitaan.. Fakta dalam
sebuah berita berbahaya senantiasa ditup oleh pers dengan ungkapan yang sopan.
·
Jurnalisme rekaman adalah budaya
wartawan untuk mentranskrip setepattepatnya apa yang dikatakan sumber berita
dan tidak mengertikannya sendiri. Budaya ini tentu saja membuat wartwan
Indonesia semakin malas.
·
Jurnalisme amplop adalah budaya
pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini
dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
Pada masa orde baru ini
juga diketemukan adanya monopoli media massa oleh keluraga para pejabat. Hal
ini tentu saja membuat sudut pandang pemberitaan yang hampir sama dan sangat
berhati-hati karena takut menyinggung pemilik saham. Pada awal tahun 1990-an
pemerintah mulai bersikap terbuka, begitupun dengan pers meskipun tetap harus
bersikap hati-hati. Keterbukaan ini merupakan pengaruh dari perubahan situasi
politik di Indonesia dan juga tuntutan pembaca kelas menengah yang jumlahnya
semkain banyak di Indonesia.
Pada 21 Juni 1994
pemerintah Indonesia membredel tiga mingguan terkemuka yaitu Tempo, Ediotr dan
Detik. Ada tiga teori tentang pembreidelan tersebut yakni teori permusuhan
Habibie-Tempo, dalam kasus ini Tempo memberitakan rencana produksi pesawat
terbang dan pembelian bekas kapal perang yang mengkritik habibie, teori intrik
politik yang berspekulasi bahwa ketiga penerbitan itu bekerjasam dengan Benni
Moerani dan pengikutnya di ABRI untuk menjatuhkan dan menyingkirkan Habibie dan
teori Intimiasi yang berspekulasi bahwa kepemimpinan nasional ingin
memperlambat laju perubahan masayrakat dan media yang semkain bergerak menuju
kebebasan yang lebih lebar. Pembreidelan ini mengakibatkan terjadinya protes
dan demo di kalangan wartawan Indonesia. Sebagai penyelesaian kasus pembreidelan
ini menteri penerangan mengelurakan dua izin penrbitan baru untuk menmpung
wartawan yang kehilangan pekerjaannya yakni mingguan Gtra untuk ex-Tempo dan
Tiras untuk wartawan eks-editor.
Pasca pembreidelan
inilah yang merupakan titik balik kondisi pers Indonesia karena wartawan-wartawannya
mulai cenderung memberontak pada pemerintah meskipun dengan cara yang
berbeda-beda. Meski demikian SIUPP tetap merupakan ganjalan terbesar dalam
kehidupan pers Indonesia saat itu.
8.
Pers di masa pasca Reformasi
Pada tanggal 21 Mei
1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema
ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde
lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia
tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah
surat izin terbit. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali
menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan,
dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi
banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru.
Di Era reformasi pemerintah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira
dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan
undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang
Pokok-Pokok Pers (UUPP). Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya
kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya
mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap
pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan
penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2. Pada masa reformasi,
Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan
sebagai berikut:
·
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
dan mendapatkan informasi.
·
Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong
terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
·
Mengembangkan pendapat umum berdasar
informasi yang tepat, akurat, dan benar.
·
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi,
dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
·
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan
di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat
melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber
informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik
atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.