“Kukuruyuuuuukkk..!”
“Alhamdullillaahilladzi
ahyaanaa wa tsaqaanaa waj’alanaa minal khaasiriin.”
“Icha.
Bangun, gih!”
“Iya
ibu sayang, Icha udah bangun, kok!”
Keisha Adiwijaya yang akrab
dipanggil Icha ini adalah seorang anak kelas
4 SD yang super ceria dan semangat, apalagi hobi banget sama
berpetualang. Dia dijuluki Si Gadis
Petualang. Hobi berpetualangnya ini yang membuat dia agak tomboi. Dengan penampilan
seperti anak cowok, bercelana pendek selutut dan kaos lengan pendek, ditambah
dengan potongan rambutnya yang pendek, teman-temannya pun kebanyakan anak
laki-laki.
Pagi ini sangat cerah, secerah
wajahnya yang tak sabar untuk segera barangkat sekolah. Dia berharap agar hari
ini ada petualangan seru yang menunggunya.
“Bu,
berangkat dulu. Assalamualaikum!”
“Waalaikumussalam.
Hati-hati, Cha!
Dia bergegas mengambil sepedanya
yang sudah semalaman nongkrong di garasi. Icha mengayuh perlahan sepedanya.
Sesampainya di jalan depan gang, tak segan-segan dia mengayuh secepat kilat.
Wuuusshh..! betapa kagetnya orang yang lewat di sekitar jalan itu.
Sepuluh menit kemudian, Icha sampai di depan gerbang
sekolahnya, SD Mulia Jaya. Gerbang tinggi menyambut hati Icha yang gembira. Dia
sudah tak sabar untuk masuk ke kelasnya. Diparkirnya sepeda biru yang dibawanya
main kemana-mana itu di tempat yang paling tepi agar mudah dikeluarkan saat
pulang nanti.
Setelah memarkir sepeda, Icha
langsung lari ke kelasnya, 4A. Sampai di kelas, ditaruhnya tas ransel
kesayangannya itu di meja paling depan. Hari ini ada pelajaran IPA, pelajaran
favorit Icha. Guru pengajarnya juga seru, selalu bisa membuat anak-anak itu
semangat belajar.
Pelajaran berlangsung hingga jam
dinding menunjukkan pukul satu siang, bel pun berdering. Bagi Icha, sura bel
ini adalah melodi musik terindah yang mengawali petualangannya. Bergegas dia
menuju tempat parkir untuk mengambil sepedanya dan langsung pergi ke lapangan
yang berjarak 100 m dari rumahnya. Selain hobi berpetualang, dia juga jago
bermain kasti.
Rupanya teman-teman Icha sudah
menunggu. Dia segera pemanasan kemudian ambil tempat. Permainan berlangsung
seru. Rupanya senja sudah tiba. Saatnya pulang, mandi, dan belajar. Tak lupa
mengucap salam pada teman-temannya itu.
“Assalamualaikum.
Ibu, aku datang!”
Icha memasuki rumahnya yang
sederhana namun rumah itu adalah tempat paling nyaman di dunia bagi Icha.
Beberapa saat setela dia msuk, betapa kagetnya Icha melihat rumahnya itu penuh
dengan kardus bertumpuk. Seaka-akan dia dan keluarganya akan pindah rumah.
Dengan wajah polos, Icha bertanya pada ibunya.
“Bu,
kita mau kemana?”
“Icha,
kita harus pindah rumah mengikuti ayahmu bekerja. Setelah ini, mandilah, ganti
baju, dan segera kita berangakat”, kata ibunya.
Icha merasa sedikit bingung dengan
hal yang dihadapinya ini. Dia bertanya-tanya mengapa harus pindah, bagaimana
rumah ini, dan bagaimana sekolah dan teman-temanku. Hatinya berkata bahwa
tempat inilah suganya. Sebenarnya Icha tak mau tinggal selain disini. Dia
berpikir bagaimana dan dengan siapa nantinya akan bermain.
Mau tak mau Icha menurut dengan
rencana itu. Dia masih terlalu kecil untuk menolak dan protes. Mengertipun tak
sepenuhnya. Selesai melaksanakan perintah ibunya, Icha masuk ke dalam mobil.
Beranglatlah Icha tanpa mengucapkan salam perpisahan kepada teman-temannya.
Bahkan, dia pun takk diberitahu bahwa ini menjadi hari terakhir dia berada di
sini. Sebuah truk berada dibelakang mobil yang dinaikinya. Truk yang mengangkut
barang-barang serumah.
Saking lelahnya, Icha tertidur di
dalam mobil, bersandar pada pundak ibunya. Ayahnya sibuk memperhatikan jalan
dengan wajah yang cukup lelah. Tibalah di rumah, lingkungan, dan tempat yang
baru. Icha masih tertidur pulas. Ayahnya menggendong dia dan dibawanya ke dalam
rumah. Setelah semua barang diturunkan, ayah dan ibunya pun ikut istirahat.
Mereka tentu lebih lelah daripada Icha. Mereka tidur bertiga pada kamar yang
sama. Maklum, memang baru pindahan.
Pagi pun tiba. Icha membuka matanya
dan masih bingung melihat tempat yang ada disekitarnya. Pegal masih terasa,
namun dengan senyum, ibunya datang ke kamar untuk mambangunkannya.
“Eh,
Icha anak Ibu sudah bangun ternyata. Yuh mandi, gih!”
“Ibu,
tadi Icha kok nggak dengar suara ayam, ya? Icha jadi agak kesiangan deh
bangunnya.”
Ibu Icha menjelaskan pada anak
manisnya itu dengan bahasa yang mudah dimengerti anak usia 9 tahun. Perlahan
Icha mengerti mengapa dia harus meninggalkan rumah kesayangannya itu. Beberapa
detik, senyuman Icha merekah kembali. Dia hanya berpikir bahwa diluar sana
petualangan dan teman bermain baru menunggunya.
Hari pertama Icha menikmati tempat
tinggal barunya dengan berjalan-jalan disekitar lingkungan itu. Ibunya
menggandengan tangan kiri Icha. Ibu Icha bertanya bagaimana tempat tinggal
barunya itu.
“Ibu,
lapangannya dimana, ya?”
“Lapangan
disekitar rumah kita agak jauh. Nanti kamu sekolah juga diantar sama Ayah.
Soalnya kalau naik sepeda, bisa-bisa kamu terlambat.”
“Ooh..begitu
ya.”
Dalam hati Icha sangat sedih.
Apalagi anak-anak yang dijumpainya terkesan kurang ramah. Mereka hanya cuek
melihat tetangga barunya tanpa sapatah katapun. Setelah berkeliling, Icha dan
ibunya pulang. Icha menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang tentunya besik
digunakan untuk bersekolah. Tentunya, ibunya ikut turun tangan. Tak mungkin
Icha bisa membenahi sendirian.
Keesokan harinya, Ayah Icha
mengantar ke sekolah baru Icha, SDN 21 Jakarta. Tanpa ragu-ragu, Icha melangkah
masuk dan menuju ke kelas yang telah ditunjukkan oleh guru barunya. Dia duduk
di bangku depan yang masih kosong. Disapanya, teman yang ada disamping tempat
duduknya. Icha mengucap “Hai” tetapi anak disebelahnya itu hanya cuek dan
menatapnya dengan sinis. Icha bingung bukan kepalang. Bagaimana bisa anak yang
belum kenal dengannya itu bersikap acuh tak acuh. Padahal Guru PKn-nya dulu
mengajarkan untuk ramah pada semua orang dan tak boleh mengacuhkan teman.
Icha tak terlalu menghiraukan
masalah kecil itu, nanti juga pasti bisa akrab sendiri, pikirnya. Sehari, dua
hari, seminggu, sebulan Icha sekolah ditempat itu, tetep saja dia dicuekin oleh
teman sekelasnya. Icha tak mengerti. Memang apa salah Icha hingga mereka begitu
padanya. Apa kalau bukan asli anak kota dijauhi dan tidak boleh diajak
berteman? Malang sekali anak seceria Icha
berubah menjadi pemurung.
Saatnya dia pulang karena pelajaran
telah usai. Icha berlari ke ibunya yang suda menunggu. Sesampainya di rumah,
dia menangis kencang –kencang.
“Ibuuuuuu!!”
“Loh,
kok anak ibu nangis? Kenapa?”
Sambil menangis ala anak SD, Icha
menjelaskan pada ibunya apa yang terjadi di sekolahnya. Sangat tak tega ibunya
melihat anak semata wayangnya menangis
gara-gara tak punya teman. Padahal dulu Icha punya banyak sekali teman. Ada
teman main juga teman sekolah. Ibu Icha menenangkan Icha yang masih
tersedu-sedu. Tak habis pikir kalau pergaulan di kota besar seperti ini. Ibu
Icha tak sabar menunggu suaminya pulang. Ingin sekali ibu Icha bercerita
tentang anaknya itu.
Malam hari, ibu Icha menjelaskan
semua yang terjadi. Keinginan ibu Icha hanyalah anaknya bisa ceria lagi seperti
sedia kala. Mereka berembuk hingga menemukan pilihan yang tepat untuk mengatasi
masalah tersebut.
“Dua
minggu lagi liburan semester, mungkin pada waktu itulah kita bisa pindah ke
rumah yang dulu. Ayah tak tega melihat Icha yang murung dan sedih”
--Libur
Semester tiba—
“Ayah,
Ibu, kita jadi pulang ke rumah yang dulu, kan?”
“Iya..
Ayo berangkat!”
“Yeeeeee..!!”
Dalam mobil, Icha sangat tak sabar
ingin cepat sampai di surganya yang dulu. Dia sangat riang dan ceria. Ketika
tiba, tepat sekali dengan senja yang hampir datang. Itu berarti, saat ini di
lapangan sedang bermain kasti. Setelah mobil sampai di depan rumah, langsung
Icha berlari secepat kilat menuju lapangan yang tak jauh dari rumahnya.
“Teman-temaaaaaann!!”
Semuanya menganga dan bersorak
melihat kawannya yang tiba-tiba pindah rumah. Kangen sekali rasanya, walaupun
hanya dua bula mereka terpisah. Seteh temu kangen, Icha pulang diantar
rombonagn temannya. Beramai-ramai mereka menuju rumah Icha sambil bernyayi.
Sesampainya
di depan pagar, “Bye Icha. Sampai ketemu besok.”
Senangnya hati Icha merasakan
kedamaian yang sejenak hilang darinya. Dia sangat bersyukur bisa kembali ke
surganya ini. Icha tak sabar menunggu pagi esok untuk pergi ke sekolah, belajar
dengan teman-teman yang menyayangi dan peduli padanya. Tak memandang status
atau apapun, yang jelas hari-hari indah Icha kembali seperti sedia kala.
***
No comments:
Post a Comment